Sempat terpikir di benak ketika memasuki kawasan Garut, jangan-jangan… jauh di dasar kota Garut ini terbentang lautan magma, lava dan lumpur panas. Jangan-jangan…., Garut ini sebenarnya sebuah gunung raksasa. Bagaimana kalau suatu saat lautan magma di dasar Garut meledak? Kiamat akan segera menghancurkan seluruh kota Garut dan kota-kota terdekatnya. Ah, lantas saya membuang pikiran itu, dan memacu kendaraan di jalanan menikak-nikuk menuju Kawah Kamojang.
Dalam perjalanan menuju Kawah Kamojang, dua mata ini disuguhi pemandangan serba hijau, dari ladang-ladang sayuran petani, rumput-rumput dan barisan gunung di seberang kanan. Sementara, hujan mini mengiringi perjalanan saya.
Di sepanjang jalan ini, kita akan menemui beberapa penginapan idaman pendatang. Ada Mulih Kadesa, penginapan dengan nuansa sawah pedesaan. Orang kota nih maunya apa ya. Udah tinggal di Jakarta, apartemen kelas dunia, rumah mewah tapi tetap saja ingin merasakan nikmatnya tidur dengan nuansa sawah. Sementara orang desa sehari-hari tidur di rumah pinggir sawah, menginginkan rasanya tidur di kamar tingkat 20. Benar kata pepatah sih, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Ya, tidak ada salahnya juga. Mencoba untuk menghilangkan rasa penasaran. Selain Mulih Kadesa, di plang berikutnya ada penginapan bagi mereka yang ingin menikmati kesunyian dan berduaan sampai bosan, Sampireun. Penginapan seharga hotel bintang lima di Bandung. Lebih menanjak lagi, ada penginapan lucu dan cocoknya untuk keluarga, para manula dan orang tua yang ingin romantis-romantisan. Ini penginapan Kebun Mawar. Konsepnya berada di tengah kebun, dengan berbagai jenis bunga bermekaran. Harganya juga bikin wajah berbunga-bunga, dan dompet kembang kempis. Beruntung saya tidak jadi check-in, karena semua kamar sudah penuh. Yuk ah lenjutin perjalananya.
Mobil terus menanjak melewati kebun sayuran, sampai akhirnya memasuki hutan lebat dan jalanannya terlihat bersih. Di
beberapa titik hutan, terlihat asap putih menghantui awan. Pipa-pipa raksasa melintang-lintang dari hutan menuju satu tempat. Di beberapa jalan menuju kawah terlihat tulisan “SELAIN PETUGAS DILARANG MASUK” “DILARANG MEROKOK” “DILARANG INI ITU” semakin banyak larangan semakin membuat saya penasaran. Ada apa sih di ujung jalan tengah hutan yang dipasangi palang besi itu? Selidik punya selidik, rupanya jalan itu menuju sumber atau sumur kawah yang melesatkan uap panas. Uap panas ini dialirkan melalui pipa besi menuju pusat pembangkit listrik untuk menggerakkan generator. Jadilah PLTP alias Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi. Kalau gitu sih jadinya PLTPB. Wah! Hebat ya. Garut ini ternyata memang menyimpan banyak sekali energi. Energi panas bumi, juga energi wisata dan budaya. Saya semakin bersemangat untuk membeli tanah di Garut, lalu membuka penginapan atau bersawah, atau bercocok sayuran, atau duitnya mana. Ah, kere. Tidak jadi beli tanah. Berwisata sajalah. Setelah nge-WOW nge-WOW sambil jumpalitan di atas pipa berderajat tinggi, saya meninggalkan wisata PLTP milik Pertamina dan Indonesia Power. Saya menuju kawah komersil. Kawah yang tekanan uapnya tidak begitu besar untuk membangkitkan generator. Jalanan yang tadinya bagus pun perlahan terasa butut. Aneh nih pengelola Kamojang. Kenapa tidak sekalian sih membuat jalanan bagus menuju kawasan wisata. Padahal saya harus membayar 12 ribu diskon 2 ribu di gerbang masuk.
Sebelum memasuki gerbang, di sisi kiri jalan kita sudah disuguhi kolam kawah. Yang jelas panas, berlumpur dan beruap. Di beberapa titik, berserak sampah-sampah plastik, botol dan bekas snack. Nih orang sudah gila ya. Buang sampah seenak pantat, belum pernah ngerasain kecemplung kawah kayanya.
Setelah memastikan mobil diparkir dengan aman. Eh, kata siapa aman? Persis di pojokan parkiran, sebelah moncong mobil, terdengar suara meletup-letup dan diberi garis aman. Ternyata setelah dilihat, itu lubang kawah. Saya bisa melihat gejolak lumpur hitam muncrat-muncrat dan sedikit bau belerang. Kelebihan kawah di sini kadar belerangnya tidak begitu tinggi dibanding kawah-kawah di beberapa gunung di Garut. Begitu juga dengan uap yang melesat ke udara cenderung seperti kabut biasa saja. Masih aman di hidung dan mata.
Lalu, ada apalagi? Banyak! Di kawasan wisata ini banyak sekali kawah. Dari yang ukurannya sebesar lubang jarum, hingga kolam mendidih, lubang batuk-batuk, goa bergejolak hebat, bergemuruh, dan kawah mirip suara dari cerobong kereta api. Sebut saja kawah “Kereta Api”
Lagi-lagi, kita bisa menyaksikan kebodohan para pengunjung, yang teramat bodoh, dengan membuang sampah plastik ke tengah kawah. Ini maksudnya apa sih? Penasaran, panasnya kawah bisa melelehkan plastik, atau gimana sih? Aneh banget. Plus membayar 10 ribu di pintu gerbang dan parkir dua ribu itu tidak juga disediakan tong sampah di kawasan kawah. Sudah tahu wisatawan alay itu tidak sadar lingkungan. Doh! Gemes jadinya. Padahal, yang datang itu tidak hanya turis lokal, beberapa terlihat ada turis asing, dengan sampah di tengah kawah. Apa kata nenek moyang loe?! Dan lebih bodoh lagi, menaruh tumpukan kayu di atas kawah. Alasannya untuk menghangatkan diri. Hallo?! Bodohnya level 10! Makin gemes. Ah, ya sudahlah. Saya datang hanya sekali ke kawah ini. Biarlah. Suka-suka mereka. Lebih baik foto-foto sebentar, kemudian pulang ke penginapan sambil dihebohkan dengan hujan di tengah hutan. Garut ini tahu sekali membuat para pendatang makin cinta dengan suasananya. Hujan, berkabut dan dingin.
Selamat menikmati!

Konon, dengan berdiam di tengah uap panas ini, seorang pengidap asma pun bisa sembuh. Bagaimana dengan pengidap kere? Xixixixi!
“sonofmountmalang”
Categories: foto cerita, foto saja, traveling
Wah infonya cukup lengkap, thanks. Sempet nyobain sauna open air apa gak di sana? 😛
Sauna sebentaran aja. Soalnya nggak ngidap asma, tapi ngidap kere. Hahahaha!